Minggu, 17 Februari 2013

Siapa yang bisa menghindar dari kenangan?

Siapa yang bisa menghindar dari kenangan? Begitulah kira-kira bunyi baris sebuah puisi karya seorang penyair Jogja yang terus membekas di kepala saya. Agaknya saya harus sepakat dengan sang penyair, tak ada yang bisa lolos dari intaian kenangan.

Kalau boleh mengibaratkan, kenangan itu ibarat debu. Debu yang bisa menempel di mana saja, dan akan terus kembali walau sudah berkali-kali dibersihkan. Debu juga melekat di tempat-tempat yang susah dibersihkan, seperti punggung atau kolong lemari.

Ya, kenangan akan selalu datang kepada Anda, suka atau tidak suka. Ia serupa sebuah rekaman gambar gerak bersuara yang tersimpan di kepala Anda dan akan secara otomatis terputar saat Anda berada di suatu tempat tertentu, melihat suatu benda tak asing, atau pun sesederhana mendengar sebuah kata. Kenangan adalah hewan buas yang mengintai di kegelapan, yang akan langsung menerkam saat Anda tidak waspada.

Ada yang bilang kalau hujan bisa secara ajaib memicu terputarnya kembali rekaman kenangan di kepala orang. Tak ada penjelasan yang ilmiah soal itu, mungkin aroma petrichor (bau tanah) lah yang menjadi pemicunya. Atau mungkin karena hujan dan kenangan itu mirip. Keduanya sama-sama hadir di waktu yang tak tentu dan sering tiba-tiba. Keduanya menyisakan perubahan pada kondisi sekeliling: basah, kubangan di sana-sini, yang tidak bisa dihilangkan dengan mudah. Keduanya akan menghilang dengan sendirinya.




ditulis dengan diiringi hujan,
adieu!

Sabtu, 16 Februari 2013

Panggil Saja Saya Cina: sedikit soal rasisme

Kemarin malam saya mengalami sebuah pengalaman yang menarik saat dapat giliran shift malam di warung kopi tempat saya bekerja. Hari itu ramai luarbiasa. Pelanggan berjubel, pesanan menumpuk. Menjelang pukul 11 malam ada seorang pelanggan yang sudah selesai bersantap dan ingin membayar pesanannya. Nah, saat itu saya sedang jadi kasir, dan dari situlah cerita bermula.

Alkisah, saat jari-jari saya sedang melompat-lompat dari satu tombol kalkulator ke tombol lainnya, si Mas Pelanggan ini nyeletuk:

"Kurang cepet."

Seketika itu saya mendongak untuk melihat si empunya celetukan, dan dia pun melanjutkan:

"Coba Cina pasti bisa cepet... (sambil menunjukkan gestur tangan menirukan saya menghitung dengan kalkulator)."

Saya pun tersenyum dan melanjutkan pekerjaan menghitung sambil mbatin: "Aku ki yo Cino lho Mas..."

Peristiwa di atas sama sekali nggak membuat saya tersinggung. Saya maklum. Kalau saja darah Cina di tubuh saya ini nggak setengah-setengah Mas Pelanggan itu nggak akan mungkin berani bilang demikian karena sudah pasti mata saya sipit dan kulit saya lebih cerah.

Saya pun teringat pada pembicaraan dengan beberapa teman di kantin kampus yang sudah terjadi agak lama. Waktu itu topik pembicaraan yang bergulir membawa kami ke topik yang sangat sensitif, rasisme. Inti pembicaraan itu adalah bahwa, pada dasarnya semua orang punya kecenderungan untuk bersikap rasis. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, kita akan menggunakan cap rasial tertentu saat berhadapan dan berinteraksi dengan teman-teman lain yang beda rumpun bangsa. Ras Cina misalnya, yang selalu diidentikkan dengan kepandaian dagang Yah walaupun sebenarnya ada saja yang tidak pandai dagang seperti saya ini.

Hmm, iya juga ya? Saya juga sering memakai kerangka pikir berdasarkan cap rasial tertentu saat menghadapi teman beda ras. Cap ini menimbulkan banyak hal dalam kepala saya yang jelas saja berpengaruh pada cara saya menilai dan menyikapi orang lain.

Kalau memang benar demikian, berarti memang tak ada gunanya menyikapi rasisme dengan cara gontok-gontokan, adu mulut, apalagi adu pukul. Kalau memang itu sudah jadi semacam sikap dasar manusia yang tidak bisa dihilangkan, maka sebaiknya rasisme itu disadari sebagai elemen dari persinggungan antarmanusia. Kalau memang cap yang diberikan tidak benar ya anggap saja orang yang sedang berhadapan dengan Anda adalah orang yang bodoh. Kalau benar dan menyinggung ya anggap saja itu sebagai sebuah kritik yang membangun. Kalu benar dan bagus ya di amini saja. Dengan begitu tentunya tidak akan saling tersinggung bukan?

Contohnya adalah pengalaman saya sendiri bersama teman-teman. Lingkaran sosialku adalah contoh sukses menghadapi rasisme tanpa adu-aduan. Dalam percakapan sehari-hari, sah-sah saja saat saya memanggil teman saya dengan kata "Cina" lalu melanjutkan dengan ejekan-ejekan macam "Pelit". Anehnya, ini semua terjadi tanpa dibuat-dibuat. Sepertinya memang saya dan teman-teman saya sudah saling menyadari bahwa tak ada gunanya membalas perlakuan rasis dengan emosi. Marah-marah hanya akan membuatnya semakin langgeng. Jadi ya, tertawakan sajalah :D

Yang menjadi utopianya adalah sebuah dunia dimana seseorang beretnis Cina tidak akan marah atau tersinggung saat dia diteriaki:

"Oi Cina!"




adieu!

Rabu, 13 Februari 2013

Pahlawan Legendaris: Kamen Rider

Setiap anak yang tumbuh besar di tahun 90an pasti mengenal pahlawan super yang bernama Satria Baja Hitam dan Satria Baja Hitam RX. Aksinya membasmi monster Gorgom dan Crisis Empire pasti membekas di hati setiap anak yang pernah menontonnya di televisi. Bahkan bukanlah tidak mungkin kalau anak-anak di masa itu banyak yang ingin menjadi pahlawan seperti Kotaro Minami (nama karakter yang berubah jadi Satria Baja Hitam dan juga RX).
 Kamen Rider Black

 
 (Ki-Ka) Kamen Rider Black RX Bio, RX, dan RX Robo


Tidak banyak yang tahu bahwa penggunaan nama Satria Baja Hitam adalah sebuah kesalahan penerjemahan. Nama asli dari Satria Baja Hitam di Jepang sana adalah Kamen Rider Black, dimana Kamen berarti topeng dan Rider bisa diartikan sebagai Satria. Jadi terjemahan yang lebih tepat adalah Satria Bertopeng Hitam. Salah satu efek dari kesalahan penerjemahan itu adalah pemukulrataan pemanggilan  setiap Kamen Rider dengan nama Satria Baja Hitam. Cobalah tengok gambar di atas, bukankah RX Bio sama sekali tidak berwarna hitam?

SISI HISTORIS

Kamen Rider adalah sebuah serial yang sudah populer di Jepang sejak tahun 70an. Kamen Rider Black bukanlah yang pertama, ia adalah kamen rider ke-11 dalam sejarah. Kamen Rider pertama bernama Kamen Rider Ichigo, atau bisa juga disebut sebagai Kamen Rider One. Penciptanya adalah seorang penulis cerita fiksi ilmiah mingguan bernama Shotaro Ishinomori. Kemunculan perdana Kamen Rider Ichigo terjadi pada tanggal 3 April 1971 di NET TV (sekarang bernama TV Asahi).

 
 Kamen Rider Ichigo


Di tulisan ini saya tidak akan membahas semua kamen rider yang pernah ada. Saya hanya akan membagikan sedikit informasi umum dan mendasar soal para pahlawan legendaris ini. Nah, secara garis besar serial kamen rider dibagi menjadi dua era besar berdasarkan tahun aksinya. Era pertama disebut era Showa. Era ini berlangsung dari tahun 71 (kamen rider pertama) sampai dengan Kamen Rider Black RX di tahun 80an akhir.

(Ki-Ka) Kamen Rider RX, Ichigo, Nigo, V3, Riderman, X, Amazon. Stronger. Skyrider, Super One, Z-Cross


 
 (Ki-Ka) Z-Cross, Skyrider, Amazon, Riderman, Nigo, Black, Ichigo, V3. X, Stronger, Super One


Serial kamen rider sempat hilang di awal tahun 90an. Baru pada tahun 1997 kamen rider baru, Kamen Rider Kuuga muncul. Kelahirannya inilah awal dari era kedua kamen rider, era Heisei. Era Heisei sendiri masih berlangsung smpai sekarang. Satria-satria baru terus bermunculan dengan keunikannya masing-masing.

Kamen Rider Kuuga


(Atas, Ki-Ka) Kuuga, Agito, Ryuki, Faiz, Blade, Hibiki, Kabuto
(Bawah, Ki-Ka) Den-O, Kiva, Decade, W, Ouze, Fourze
(Figur paling kanan) Wizard

MELIHAT LEBIH DALAM

Setelah menengok sedikit soal sejarah kamen rider, berikutnya saya akan menuliskan sedikit hasil pengamatan saya pada serial kamen rider sampai sejauh ini. Saya akan menuliskan karakteristik kamen rider dari era Showa dan juga Heisei.

SHOWA

Perbedaan paling mencolok dari kamen rider di kedua era tersebut adalah alur cerita secara garis besar. Para kamen rider di era Showa semuanya adalah manusia korban penculikan organisasi-organisasi kriminal misterius yang kemudian mengubah mereka manjadi cyborg. Cyborg-cyborg ini kemudian memberontak dan memilih untuk memihak umat manusia. 

Kesepuluh kamen rider awal di era Showa memiliki keterikatan alur cerita. Dalam dunia cerita para kamen rider, Kamen Rider Nigo muncul setelah Kamen Rider Ichigo, lalu Kamen Rider V3 pun menyusul, dan begitu seterusnya. Di beberapa titik cerita saat mereka saling bertemu, kamen rider yang muncul belakangan pun memanggil kamen rider yang muncul duluan dengan sebutan "senior". Organisasi kriminal dari masing-masing serinya pun saling terhubung. Semua organisasi kejahatan yang dilawan Kamen Rider Ichigo sampai Super One adalah organisasi anakan dari organisasi kriminal besar yang menjadi lawan kamen rider ke-10, Z-Cross.

Secara fisik kesemua kamen rider Showa memiliki kesamaan. Bentuk dasar kostum mereka mengambil  bentuk dasar serangga, dan semuanya memakai scarf di lehernya (kecuali Black dan Black RX). Sumber kekuatan mereka adalah kelebihan kekuatan fisik melebihi manusia yang didapat dari operasi, walaupun ada juga yang menggunakan senjata semacam pedang atau tongkat. Yang jelas, kamen rider Showa lebih banyak mengandalkan kekuatan fisik mereka.

HEISEI

Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, perbedaan paling mencolok dari kamen rider di kedua era ini adalah alur cerita secara garis besarnya. Jika di era Showa kamen ridernya saling terikat, maka di era Heisei para kamen rider seakan berdiri sendiri-sendiri, tanpa keterikatan secara waktu.Di beberapa film  memang kamen rider- kamen rider ini nampak ada di ruang dan waktu yang sama tapi kalau menurut saya kok nampak dipaksakan dan kadang logika ceritanya nggak masuk. Sumber kekuatan para rider Heisei ini pun berbeda secara mendasar. Kekuatan rider mereka bukan didapat dari hasil operasi, melainkan dari artefak-artefak misterius ataupun alat-alat canggih bikinan pabrik.

Era Heisei adalah era yang mulai mendobrak 'pakem' kamen rider. Di cerita rider Heisei konsep banyak rider dalam satu cerita semakin digalakkan. Dalam Kamen Rider Ryuki rider yang muncul mencapai 13 rider. Ceritanya pun tak kalah nyeleneh, rider-rider di dalamnya saling bertarung, dan yang paling mendobrak pakem adalah kematian sang karakter utama, Ryuki. Secara fisik bentuk para rider juga tak melulu mengambil bentuk dasar serangga. Ambil contoh pada Kamen Rider Ryuki ada rider yang mengambil bentuk naga, kelelawar, ular, dll. Kekuatan rider-rider ini pun terlihat lebih superior dengan proyektil-proyektil energi yang bombastis. Hal ini tentunya adalah konsekuensi logis dari perkembangan teknologi grafis.

****************

Saya pribadi hanya sempat menyicipi bebarapa rider Showa seperti Super One, Black, dan Black RX. Rider-rider Showa lainnya saya kenal lewat kemunculannya di film-film kamen rider Heisei yang sering memunculkan rider-rider lintas seri dan era. Pun rider Heisei belum semuanya saya tuntas tonton. Ada yang hanya sempat saya cicipi beberapa episode awal ataupun dari versi filmnya. Saya cukup beruntung untuk menonton sampai tamat Kuuga, Faiz, Kabuto, Ryuki, dan Decade.

Dari sekian tontonan saya nampaknya hanya Kamen Rider yang benar-benar nyantol. Impian saya adalah membeli harddisk kapasitas besar dan mengisinya dengan koleksi lengkap semua serial Kamen Rider. Saya yakin itu akan menjadi harta yang tak ternilai harganya. Tapi ya, entah kapan mimpi itu bisa terwujud.



*dirangkum dari berbagai sumber (kamenrider.wikia.com, dll)
adieu!

Selasa, 12 Februari 2013

golek gawean

Dalam rangka meraih kemandirian secara finansial, saya mencoba melamar pekerjaan ke sebuah penyedia jasa jalan-jalan dan menempuh ujian wawancara beberapa hari yang lalu. Dari sekian topik percakapan yang terjadi, yang paling saya ingat adalah ketika saya saya ditanya kenapa ingin bekerja. Waktu itu saya menjawabnya dengan berkata bahwa saya ingin masih tergantung pada orang tua dan dengan bekerja saya ingin lebih mandiri secara finansial.

Ketiga pewawancara saya pada waktu itu pun bertanya bagaimana bisa saya masih tergantung pada orang tua saya di usia yang sudah 24. Berhubung saya tak ingin membahasnya lebih jauh, segera saya jawab:

"That's exactly why I apply for this job." (wawancara dilakukan dalam bahasa inggris)

Yah, kemandirian dalam bidang ekonomi memang menjadi prioritas hidup saya tahun-tahin belakangan ini. Saya pun sebenarnya sudah mulai cari duit, meskipun hanya secara serabutan. Dari jadi pendamping kelompok outbond anak SD, kuli pertunjukan, penerjemah, sampai nyebar leaflet di jalanan sudah pernah saya lakoni. Pekerjaan tetap sejauh ini hanyalah menjadi pramusaji di sebuah warung kopi. Pekerjaan-pekerjaan itu memang belum bisa dijadikan penghidupan yang mutlak. Sampai sekarang saya masih saja merepotkan kedua orang tua saya dengan meminta uang bulanan. Yahh setidaknya hasil jerih payah itu bisa mengurangi jumlah uang yang saya minta ke orang tua, dan beberapa kebutuhan bisa saya penuhi sendiri.

Kini selain menanti pendadaran saya juga menanti kabar dari si pembuka lowongan kerja. Semoga saja pekerjaan ini bisa jatuh ke tangan saya. Semoga saja pekerjaan ini nantinya bisa berkontribusi pada terwujudnya basis ekonomi saya. Amin.


adieu!

di antara



Dalam ingatan masa kanak-kanak saya, Imlek tak lebih dari sebuah acara keluarga dimana semua keluarga dari pihak ayah saya berkumpul dan bersilaturahmi. Imlek juga menjadi hari dimana saya mendapat uang saku lebih banyak dari biasanya. Saya selalu deg-degan setiap menerima angpao, bertanya-tanya kira-kira seberapa banyak yang saya dapat. Rasanya ingin sekali langsung membukanya ditempat dan menghitung uang di dalamnya. Tapi hal itu selalu terpaksa harus saya urungkan karena orang tua saya melarang saya membukanya sebelum sampai di rumah. Tidak sopan katanya.

Semasa SD kesadaran rasial saya belum tumbuh. Saya belum mempertanyakan kenapa kedua keluarga besar dari ayah dan ibu saya begitu berbeda. Kenapa yang satu bermata sipit, sedangkan yang satu berkulit coklat. Kesadaran itu mulai muncul di masa SMP dan SMA, mungkin karena teman-teman sebaya saya juga mulai mempertanyakannya dan mulai menyinggungnya dalam percakapan sehari-hari.

Kesadaran itu semakin tumbuh di bangku kuliah, seiring dengan bertambahnya wacana saya sebagai seorang mahasiswa. Semakin lama saya makin mempertanyakan identitas saya yang setengah jawa setengah cina ini. Sedikit banyak saya bersinggungan dengan kultur keduanya, tapi tak satu pun saya kuasai betul untuk bisa memilikinya sebagai sebuah identitas diri. Ambil contoh soal bahasa. Bahasa Jawa saya hanya bisa ngoko, bicara krama masih gagap. Dari SD sampai SMP saya berkesempatan  mendapat pelajaran aksara jawa dan sempat bisa sedikit-sedikit. Tapi kemudian semua itu menguap begitu saja karena tidak dipelajari lagi setamat SMP. Semacamnya saya mengalami krisis identitas.

Tetapi semua kebingungan itu tak pernah bisa menghilangkan semaraknya Imlek di hidup saya. Saya tetap selalu menikmati detik-detik kumpul keluarga. Yah walaupun tidak semua orang yang saya temui di situ saya kenal (entah karena lupa atau juga karena memang belum pernah bertemu sebelumnya dan malas berkenalan) tetap saja terasa menyenangkan. Ada sensasi tersendiri yang muncul ketika bertemu kembali dengan sanak saudara. Melihat bagaimana mereka berubah dari tahun ke tahun. Sepupu-sepupu yang dulu masih begitu kecil mulai beranjak remaja dan mulai bersolek. Paman dan Bibi yang semakin menua. Bertambah kerut di wajahnya, bertambah uban di kepalanya.

Sebenarnya ada keinginan untuk mendalami budaya keluarga ayahku, tapi ya cuma berhenti di situ saja. Keinginan untuk melaksanakannya selalu kalah dengan keinginan-keinginan lain. Yah, setidaknya saya masih bisa menikmati ke'antara' an ini.

 Oh ya, ini ada foto-foto keluarga Li:




Hayoooo, coba tebak yang mana Bapak saya?

Akhir kata, selamat Imlek! Semoga tahun ini penuh berkah!

adieu!

Sabtu, 09 Februari 2013

Humor itu Obat

Seeing the funny sides of situations and of oneself doesn’t sound very serious, but it is integral to wisdom, because it’s a sign that one is able to put a benevolent finger on the gap between what we want to happen and what life can actually provide; what we dream of being and what we actually are, what we hope other people will be like and what they are actually like. Like anger, humour springs from disappointment, but it’s disappointment optimally channelled. It’s one of the best things we can do with our sadness.

-Alain de Botton-


Harapan adalah sesuatu yang patut diwaspadai. Seringkali adanya harapan disalahartikan sebagai sebuah keniscayaan; sesuatu yang pasti akan terjadi. Karenanya, saat apa yang diharapkan tidak terjadi biasanya kita akan mengutuk dan bersumpah serapah. Kita akan mulai menyalahkan situasi, orang lain, diri sendiri, atau mungkin nasib dan Tuhannya.  "PHP (Pemberi Harapan Palsu) nih!" begitu orang sekarang bilang. Tapi tunggu dulu, harapan bukan janji Bung! Dia hanya sebuah kemungkinan. Jadi ya salah kalau harapan itu lantas dijagakke.

Orang yang tidak bisa mengatasi rasa kecewanya kadang jatuh pada kondisi yang statis, alias nggak bisa move on; mutung sama keadaan. Kesedihan yang berlarut-larut membuatnya selalu murung, dan malas beraktifitas. Ujung-ujungnya orang ini akan kehilangan arah dan jalan di tempat. Fokus pada apa yang dia tidak punya malah membuatnya lupa akan apa yang dia miliki.

Lantas, apa yang harus kita lakukan? Bukankah kita akan selalu berharap karena yang namanya manusia itu tak bisa lari dari keinginan? Jawabannya saya pikir adalah apa yang dikemukakan Alain de Botton, seorang filsuf dari Inggris yang saya kutip di atas. Solusinya tak lain dan tak bukan adalah humor.  

Kegagalan atau kesialan selalu saja dikutuki dan disesali. Itu semua karena kita masih nggak terima. Kok Gini. Kok Gitu. Coba dulu nggak gini. Semua itu akhirnya malah menjadi beban yang melelahkan dan menggerogoti kita dari dalam. Nah, saat semua itu menjadi humor; jadi sesuatu yang bisa ditertawakan, itu tandanya kita sudah bisa menerimanya sebagai bagian hidup kita. Dengan kata lain kekecewaan sudah terobati dan kita sudah move on.

Kecewa boleh kok. Mengutuki keadaan juga boleh. Tapi ya jangan terus-terusan. Ibarat kata, kalau sudah jatuh ya jatuh. Mengutuki hal yang membuatmu jatuh nggak akan membatalkan kejatuhanmu itu. Ya to? Hahahaha. Mari tertawa sebelum tertawa itu dilarang (opotoh?).


adieu! 

Jumat, 08 Februari 2013

Februari

Bulan Februari ini semacamnya sangat wow sekali. Bagaimana tidak, salah satu momen paling penting dalam hidup saya akan terjadi di bulan ini. Sebuah momen yang akan membukakan pintu menuju dunia baru: dunia pengangguran. Ya, bulan ini saya akan menempuh ujian pendadaran. Setelah itu saya akan dibabtis jadi pengangguran.

Jujur saja saya bingung mau ngapain setelah lulus nanti. Yang jelas, sampai kira-kira setahun ke depan saya akan tinggal di Jogja karena sudah memutuskan untuk mengontrak rumah lagi bersama teman-teman. Walaupun masa depan masih buram, saya sudah memutuskan untuk hidup di Jogja, setidaknya sampai saya berubah pikiran atau menemukan ketertarikan dengan tempat lain. Semacamnya berjudi memang. Tapi ya, kalau sudah punya kemauan sebaiknya memang dituruti, daripada gela di ujung nanti.

Sekarang saya sedang harap-harap cemas menanti keluarnya jadwal ujian pendadaran. Hari penentuan baru bisa saya ketahui pada tanggal 14 besok. Jika kebanyakan orang mungkin menantikan tanggal 14 besok dengan menyusun rencana-rencana romantis, maka saya menantikan hari itu dengan menyiapkan hati menyongsong datangnya hari dimana saya bisa tahu kapan pertempuran terakhir itu akan terjadi.

Sampai jumpa di tanggal 14!

Kamis, 07 Februari 2013

Catatan Awal Tahun

Hmmmm, lama banget blog ini nggak aku jamah. Tulisan terakhir aku buat di tahun 2011. Hahahaha... sudah 2 tahun berselang. Sekarang sudah kira-kira seminggu aku berumur 24. Hmmm... tiba-tiba saja kepengen nulis. Nulis apa yak enaknya? Asik kali ya kalo aku cerita soal apa yang kualami dan kurasakan akhir-akhir ini.

Seperti yang kubilang tadi, sekarang aku sudah menginjak usia 24. Tahun depan usiaku akan genap seperempat abad (njuk ngopo?) hahahaha. Ulang tahunku jatuh pada tanggal 1 kemarin, tepat di hari Jumat. Hari itu entah kenapa begitu kunanti. Mungkin karena aku berharap banyak hal menyenangkan akan terjadi di hari itu.

Kamis itu (31/1) aku menghabiskan sore sampai malam di warung kopi tempat aku bekerja dan seringkali menghabiskan hari. Sengaja kunanti  sampai tengah malam, sampai hari berganti. Buatku merayakan ulang tahun di detik pertama hari berganti itu sungguh sangat oke, tak tau kenapa. Aku tak bisa menjawab dengan baik saat temanku bertanya apa esensinya merayakan ulang tahun tepat di saat hari berganti, saat detik pertama meninggalkan angka 12.

Tadinya aku berharap akan ada banyak orang yang ikut nongkrong di situ, tapi ternyata ya sepi-sepi saja. Hanya ada segelintir orang yang bisa kuajak berbagi rasa betapa senangnya bisa hidup setahun lebih panjang lagi. Tapi itu pun sudah cukup. Lepas tengah malam kutinggalkan sejenak teman-temanku untuk membeli martabak dan terang bulan untuk perayaan ala kadarnya. Rasanya senang sekali.

Singkat cerita, itu lah salah satu momen penting di awal tahun ular ini. Saatnya beralih ke yang lain. Layaknya mahasiswa tingkat akhir pada umumnya, aku sedang bergulat dengan skripsi, sebuah tolok ukur untuk melihat sejauh mana seorang mahasiswa menguasai ilmu yang telah diajarkan padanya. Nah, seharian kemarin adalah salah satu hari yang paling melelahkan dalam prosesku mengerjakan skripsi : mendaftar untuk ujian pendadaran. Dari pagi aku sudah berkutat di rentalan, mencetak skripsiku yang mencapai 148 halaman dan menggandakannya sebanyak tiga kali. Sungguh melelahkan menata dan memastikan nggak ada halaman atau format penulisan yang luput secara langsung (tidak di layar laptop). Dan memang benar apa saran dosen pembimbingku, suntingan yang dilakukan penulis segera setelah tulisan jadi pasti banyak luputnya. Penulis sudah capek duluan, energinya habis untuk mencipta. Saat seorang temanku, seorang pembaca kedua di hari itu, melihat-lihat skripsiku yang sudah dicetak dan dijilid rapi, dia menemukan sejumlah kesalahan. Ah! Bukan main hancurnya suasana hatiku siang itu.

Siang itu aku begitu tertolong oleh segelas es teh di kantin kampus, yang sedikit banyak menenangkan dan menentramkan diriku. Begitu habis, langsung kukebut motor kembali ke rentalan. Si Mas rentalan (yang aku belum sempat kenalan tapi besok kalo ke sana lagi pasti kusempatkan) dengan sedikit nggerundel akhirnya bersedia membongkar lagi hasil jilidannya. Singkat cerita, setelah kesalahan-kesalahan dibetulkan, kubawa skripsiku ke sekretariat Fakultas Sastraku yang tercinta. Di halaman pengesahan kuminta dosen pembimbingku untuk tandatangan, sebagai tanda bahwa dia meloloskan skripsiku untuk didadar. Sembari menandatanganinya, dia berpesan padaku untuk berdoa demi kelancaran semuanya. 'Ora et Labora,' katanya.

Tahap pertama pendaftaran ujian pendadaran pun selesai. Mbak Ninik, pegawai sekretariat berpesan bahwa jadwal ujian baru akan keluar pada tanggal 14 Februari besok. Pembayaran administrasi ujian akan kuurus nanti pagi. Hahaha, lega banget rasanya. Rasa deg-degan berkejar-kejaran dengan tenggat daftar ujian pun luruh, lalu berganti dengan rasa deg-degan menantikan ujian pendadaran....

Yah, sekian dulu saja ya. Sampai jumpa di lain kesempatan. Semoga keinginan untuk menulis bisa muncul terus. Adieu!