Sabtu, 16 Februari 2013

Panggil Saja Saya Cina: sedikit soal rasisme

Kemarin malam saya mengalami sebuah pengalaman yang menarik saat dapat giliran shift malam di warung kopi tempat saya bekerja. Hari itu ramai luarbiasa. Pelanggan berjubel, pesanan menumpuk. Menjelang pukul 11 malam ada seorang pelanggan yang sudah selesai bersantap dan ingin membayar pesanannya. Nah, saat itu saya sedang jadi kasir, dan dari situlah cerita bermula.

Alkisah, saat jari-jari saya sedang melompat-lompat dari satu tombol kalkulator ke tombol lainnya, si Mas Pelanggan ini nyeletuk:

"Kurang cepet."

Seketika itu saya mendongak untuk melihat si empunya celetukan, dan dia pun melanjutkan:

"Coba Cina pasti bisa cepet... (sambil menunjukkan gestur tangan menirukan saya menghitung dengan kalkulator)."

Saya pun tersenyum dan melanjutkan pekerjaan menghitung sambil mbatin: "Aku ki yo Cino lho Mas..."

Peristiwa di atas sama sekali nggak membuat saya tersinggung. Saya maklum. Kalau saja darah Cina di tubuh saya ini nggak setengah-setengah Mas Pelanggan itu nggak akan mungkin berani bilang demikian karena sudah pasti mata saya sipit dan kulit saya lebih cerah.

Saya pun teringat pada pembicaraan dengan beberapa teman di kantin kampus yang sudah terjadi agak lama. Waktu itu topik pembicaraan yang bergulir membawa kami ke topik yang sangat sensitif, rasisme. Inti pembicaraan itu adalah bahwa, pada dasarnya semua orang punya kecenderungan untuk bersikap rasis. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, kita akan menggunakan cap rasial tertentu saat berhadapan dan berinteraksi dengan teman-teman lain yang beda rumpun bangsa. Ras Cina misalnya, yang selalu diidentikkan dengan kepandaian dagang Yah walaupun sebenarnya ada saja yang tidak pandai dagang seperti saya ini.

Hmm, iya juga ya? Saya juga sering memakai kerangka pikir berdasarkan cap rasial tertentu saat menghadapi teman beda ras. Cap ini menimbulkan banyak hal dalam kepala saya yang jelas saja berpengaruh pada cara saya menilai dan menyikapi orang lain.

Kalau memang benar demikian, berarti memang tak ada gunanya menyikapi rasisme dengan cara gontok-gontokan, adu mulut, apalagi adu pukul. Kalau memang itu sudah jadi semacam sikap dasar manusia yang tidak bisa dihilangkan, maka sebaiknya rasisme itu disadari sebagai elemen dari persinggungan antarmanusia. Kalau memang cap yang diberikan tidak benar ya anggap saja orang yang sedang berhadapan dengan Anda adalah orang yang bodoh. Kalau benar dan menyinggung ya anggap saja itu sebagai sebuah kritik yang membangun. Kalu benar dan bagus ya di amini saja. Dengan begitu tentunya tidak akan saling tersinggung bukan?

Contohnya adalah pengalaman saya sendiri bersama teman-teman. Lingkaran sosialku adalah contoh sukses menghadapi rasisme tanpa adu-aduan. Dalam percakapan sehari-hari, sah-sah saja saat saya memanggil teman saya dengan kata "Cina" lalu melanjutkan dengan ejekan-ejekan macam "Pelit". Anehnya, ini semua terjadi tanpa dibuat-dibuat. Sepertinya memang saya dan teman-teman saya sudah saling menyadari bahwa tak ada gunanya membalas perlakuan rasis dengan emosi. Marah-marah hanya akan membuatnya semakin langgeng. Jadi ya, tertawakan sajalah :D

Yang menjadi utopianya adalah sebuah dunia dimana seseorang beretnis Cina tidak akan marah atau tersinggung saat dia diteriaki:

"Oi Cina!"




adieu!

3 komentar:

  1. yep, kalo maksud rasisnya buat becandaan sesama temen sih ga masalah lah ya... tapi kalo buat mencaci ya, moga aja masih bisa meredam emosi, hehe

    BalasHapus
  2. iya,hehehehe. setelah dibaca2 lagi mmg aku kurang memperjelas posisi tulisanku. kalo dlm konteks lebih luas lagi dari pergaulan antar teman dekat memang susah buat bisa diterima.

    BalasHapus
  3. :') kamu cukup cina kok, Ke. Loph yu deh.

    BalasHapus