Minggu, 17 Februari 2013

Siapa yang bisa menghindar dari kenangan?

Siapa yang bisa menghindar dari kenangan? Begitulah kira-kira bunyi baris sebuah puisi karya seorang penyair Jogja yang terus membekas di kepala saya. Agaknya saya harus sepakat dengan sang penyair, tak ada yang bisa lolos dari intaian kenangan.

Kalau boleh mengibaratkan, kenangan itu ibarat debu. Debu yang bisa menempel di mana saja, dan akan terus kembali walau sudah berkali-kali dibersihkan. Debu juga melekat di tempat-tempat yang susah dibersihkan, seperti punggung atau kolong lemari.

Ya, kenangan akan selalu datang kepada Anda, suka atau tidak suka. Ia serupa sebuah rekaman gambar gerak bersuara yang tersimpan di kepala Anda dan akan secara otomatis terputar saat Anda berada di suatu tempat tertentu, melihat suatu benda tak asing, atau pun sesederhana mendengar sebuah kata. Kenangan adalah hewan buas yang mengintai di kegelapan, yang akan langsung menerkam saat Anda tidak waspada.

Ada yang bilang kalau hujan bisa secara ajaib memicu terputarnya kembali rekaman kenangan di kepala orang. Tak ada penjelasan yang ilmiah soal itu, mungkin aroma petrichor (bau tanah) lah yang menjadi pemicunya. Atau mungkin karena hujan dan kenangan itu mirip. Keduanya sama-sama hadir di waktu yang tak tentu dan sering tiba-tiba. Keduanya menyisakan perubahan pada kondisi sekeliling: basah, kubangan di sana-sini, yang tidak bisa dihilangkan dengan mudah. Keduanya akan menghilang dengan sendirinya.




ditulis dengan diiringi hujan,
adieu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar