Dalam ingatan
masa kanak-kanak saya, Imlek tak lebih dari sebuah acara keluarga dimana semua
keluarga dari pihak ayah saya berkumpul dan bersilaturahmi. Imlek juga menjadi
hari dimana saya mendapat uang saku lebih banyak dari biasanya. Saya selalu
deg-degan setiap menerima angpao, bertanya-tanya kira-kira seberapa banyak yang
saya dapat. Rasanya ingin sekali langsung membukanya ditempat dan menghitung
uang di dalamnya. Tapi hal itu selalu terpaksa harus saya urungkan karena orang
tua saya melarang saya membukanya sebelum sampai di rumah. Tidak sopan katanya.
Semasa SD
kesadaran rasial saya belum tumbuh. Saya belum mempertanyakan kenapa kedua
keluarga besar dari ayah dan ibu saya begitu berbeda. Kenapa yang satu bermata
sipit, sedangkan yang satu berkulit coklat. Kesadaran itu mulai muncul di masa
SMP dan SMA, mungkin karena teman-teman sebaya saya juga mulai
mempertanyakannya dan mulai menyinggungnya dalam percakapan sehari-hari.
Kesadaran itu
semakin tumbuh di bangku kuliah, seiring dengan bertambahnya wacana saya
sebagai seorang mahasiswa. Semakin lama saya makin mempertanyakan identitas
saya yang setengah jawa setengah cina ini. Sedikit banyak saya bersinggungan
dengan kultur keduanya, tapi tak satu pun saya kuasai betul untuk bisa
memilikinya sebagai sebuah identitas diri. Ambil contoh soal bahasa. Bahasa
Jawa saya hanya bisa ngoko, bicara krama masih gagap. Dari SD sampai SMP
saya berkesempatan mendapat pelajaran
aksara jawa dan sempat bisa sedikit-sedikit. Tapi kemudian semua itu menguap
begitu saja karena tidak dipelajari lagi setamat SMP. Semacamnya saya mengalami
krisis identitas.
Tetapi semua
kebingungan itu tak pernah bisa menghilangkan semaraknya Imlek di hidup saya.
Saya tetap selalu menikmati detik-detik kumpul keluarga. Yah walaupun tidak
semua orang yang saya temui di situ saya kenal (entah karena lupa atau juga
karena memang belum pernah bertemu sebelumnya dan malas berkenalan) tetap saja
terasa menyenangkan. Ada sensasi tersendiri yang muncul ketika bertemu kembali dengan sanak saudara. Melihat bagaimana mereka berubah dari tahun ke tahun. Sepupu-sepupu yang dulu masih begitu kecil mulai beranjak remaja dan mulai bersolek. Paman dan Bibi yang semakin menua. Bertambah kerut di wajahnya, bertambah uban di kepalanya.
Sebenarnya ada keinginan untuk mendalami budaya keluarga ayahku, tapi ya cuma berhenti di situ saja. Keinginan untuk melaksanakannya selalu kalah dengan keinginan-keinginan lain. Yah, setidaknya saya masih bisa menikmati ke'antara' an ini.
Oh ya, ini ada foto-foto keluarga Li:
Oh ya, ini ada foto-foto keluarga Li:
Hayoooo, coba tebak yang mana Bapak saya?
Akhir kata, selamat Imlek! Semoga tahun ini penuh berkah!
adieu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar