Selasa, 12 Februari 2013

di antara



Dalam ingatan masa kanak-kanak saya, Imlek tak lebih dari sebuah acara keluarga dimana semua keluarga dari pihak ayah saya berkumpul dan bersilaturahmi. Imlek juga menjadi hari dimana saya mendapat uang saku lebih banyak dari biasanya. Saya selalu deg-degan setiap menerima angpao, bertanya-tanya kira-kira seberapa banyak yang saya dapat. Rasanya ingin sekali langsung membukanya ditempat dan menghitung uang di dalamnya. Tapi hal itu selalu terpaksa harus saya urungkan karena orang tua saya melarang saya membukanya sebelum sampai di rumah. Tidak sopan katanya.

Semasa SD kesadaran rasial saya belum tumbuh. Saya belum mempertanyakan kenapa kedua keluarga besar dari ayah dan ibu saya begitu berbeda. Kenapa yang satu bermata sipit, sedangkan yang satu berkulit coklat. Kesadaran itu mulai muncul di masa SMP dan SMA, mungkin karena teman-teman sebaya saya juga mulai mempertanyakannya dan mulai menyinggungnya dalam percakapan sehari-hari.

Kesadaran itu semakin tumbuh di bangku kuliah, seiring dengan bertambahnya wacana saya sebagai seorang mahasiswa. Semakin lama saya makin mempertanyakan identitas saya yang setengah jawa setengah cina ini. Sedikit banyak saya bersinggungan dengan kultur keduanya, tapi tak satu pun saya kuasai betul untuk bisa memilikinya sebagai sebuah identitas diri. Ambil contoh soal bahasa. Bahasa Jawa saya hanya bisa ngoko, bicara krama masih gagap. Dari SD sampai SMP saya berkesempatan  mendapat pelajaran aksara jawa dan sempat bisa sedikit-sedikit. Tapi kemudian semua itu menguap begitu saja karena tidak dipelajari lagi setamat SMP. Semacamnya saya mengalami krisis identitas.

Tetapi semua kebingungan itu tak pernah bisa menghilangkan semaraknya Imlek di hidup saya. Saya tetap selalu menikmati detik-detik kumpul keluarga. Yah walaupun tidak semua orang yang saya temui di situ saya kenal (entah karena lupa atau juga karena memang belum pernah bertemu sebelumnya dan malas berkenalan) tetap saja terasa menyenangkan. Ada sensasi tersendiri yang muncul ketika bertemu kembali dengan sanak saudara. Melihat bagaimana mereka berubah dari tahun ke tahun. Sepupu-sepupu yang dulu masih begitu kecil mulai beranjak remaja dan mulai bersolek. Paman dan Bibi yang semakin menua. Bertambah kerut di wajahnya, bertambah uban di kepalanya.

Sebenarnya ada keinginan untuk mendalami budaya keluarga ayahku, tapi ya cuma berhenti di situ saja. Keinginan untuk melaksanakannya selalu kalah dengan keinginan-keinginan lain. Yah, setidaknya saya masih bisa menikmati ke'antara' an ini.

 Oh ya, ini ada foto-foto keluarga Li:




Hayoooo, coba tebak yang mana Bapak saya?

Akhir kata, selamat Imlek! Semoga tahun ini penuh berkah!

adieu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar